Oleh Ishak Salim, Kepala Pusat Disabilitas
Sebagai peneliti yang fokus pada isu disabilitas, saya cukup terbantu berada di lingkungan aktivis dan akademisi disabilitas. Sekitar dua tahun lalu, sebelum menjadi Kepala Pusat Disabilitas dan menjadi tenaga pengajar di departemen Ilmu Administrasi Universitas Hasanuddin, kami melakukan riset kepemimpinan. Riset ini bisa dikatakan kolaborasi antara aktivisme dan akademisi. Selain kami yang berasal dari aktivis yang juga meneliti, beberapa adalah peneliti kampus dari Australia, yakni: Elisabeth Jackson dari La Trobe University, juga ada Sen Sandjaya dari College of Business and Law, RMIT University, Melbourne, Australia. Tim ini sangat mumpuni melakukan penelitian kepemimpinan disabilitas, yang karena luasnya pengetahuan dan pengalaman para aktivis disabilitas membuat kami dengan mudah mengidentifikasi teman-teman kami dari Merauke sampai Sabang yang juga adalah pemimpin gerakan disabilitas di daerah masing-masing.
Saat pandemi Covid-19 terjadi, kami berkonsolidasi dan mengambil respon secepatnya bersama-sama. Komunikasi online saat itu banyak menolong kami untuk bisa “bertatap-muka” dan berkomunikasi langsung melalu zoom. perangkat baru saat itu yang berhasil menghubungkan orang-orang yang tepat dalam satu ruang maya. Konsolidasi itu sangat berguna untuk kerja-kerja selanjutnya, yang selai merespon Covid, menghimpun dan mendistribusikan bantuan, juga melakukan advokasi secara nasional dan tentu kerja-kerja penelitian.
Penelitian kepemimpinan ini mewawancarai 55 pemimpin disabilitas, minus wilayah Papua yang saat itu sebenarnya ingin kami kunjungi namun diarenakan alasan keamanan dan biaya tidak dapat kami datangi. Memang kami ingin menemui para informan ini secara langsung dan bukan melalui wawancara jarak jauh. Saat itu, sewaktu kami masih mendiskusikan metodologi penelitian, kami memang ingin meminjam metode etnografi dan fenomenologi demi menangkap sisi manusiawi dari kepemimpinan itu. Angka 55 bukan hal sulit kami himpun, itu pun setelah kami mengeliminasi puluhan nama pimpinan lainnya. Saya ingin mengatakan, betapa luas kemampuan kami menjangkau kawan-kawan pergerakan yang sungguh penting dalam menjalankan dan menyukseskan sebuah penelitian.
AKhirnya, singkat cerita, penelitian itu berhasil dilakukan. Saya kebagian ke wilayah yang saya cintai, Pulau Flores dan melakukan perjalanan mulai dari Maumere di Timur sampai Labuan Bajo di Barat. Selain itu saya juga ke Enrekang, wilayah dalam Sulawesi Selatan lalu lanjut ke Tana Toraja Peneliti lainnya ada yang ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Lombok, dan seterusnya. Selain itu, riset ini juga sangat mengutamakan inklusivitas, bukan hanya dari aspek teknis seperti ketersediaan perangkat wawancara, ketersediaan Juru Bahasa Isyarat, tapi juga terkait inform consent dan mengutamakan etika berinteraksi dengan difabel.
Setelah penelitian lapangan, kami menganalisis temuan dan menuliskan laporan. Selesai Tugas.

Beberapa bulan kemudian, setelah kami melaporkan penelitian ini ke donor dan publik, muncul keinginan dari Elisabeth untuk memperluas pembaca degan menuliskan paper dan mengirimkan ke Jurnal wahid Disability & Society. Saat kuliah di UGM lalu dan mengambil kajian gerakan disabilitas perspektif Foucauldian, saya banyak mengakses tulisan-tulisan di Jurnal ini. Mujur sekali, banyak tulisan bagus open access.
Kami setuju dan saat itu saya meminta agar afiliasi saya bisa diubah menjadi Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin. Saat Teh Lilis (saya menyapanya begitu) meminta saya turut menjadi bagian dalam penulisan artikel itu, saya berharap bisa menggunakan nama Pusat DIsabilitas karena saya ingin juga mengabarkan lembaga yang baru berdiri ini. Syukurnya Teh Lilis setuju dan mulailah proses penulisan dan pengajuan itu. Bulan lalu setelah hampir setahun, tulisan akademik ini terbit di jurnal kelas 1 dunia (Scopus Q1 dan High Impact). Ini tulisan kedua, dengan nama saya sebagai penulis yang menembus jurnal dengan level Q1. Sebelumnya adalah tulisan tentang Dua Kewang, penjaga laut di Maluku (https://journal.unhas.ac.id/index.php/fs/article/view/8186)
Tentang Artikel Kepemimpinan Disabilitas
Artikel ini berjudul From disability identity to disability activism: leadership journeys of persons with disabilities in Indonesia. Kami mengeksplorasi perjalanan kepemimpinan 55 aktivis disabilitas di Indonesia, meneliti bagaimana identitas politik disabilitas—yang mencakup harga diri, kebanggaan, kesadaran akan diskriminasi, dan tujuan bersama—terbentuk melalui pengalaman hidup dalam keluarga, sekolah, dan keterlibatan dengan Organisasi Pergerakan Disabilitas (OPD).
Dukungan keluarga, terutama dalam membangun kemandirian dan akses pendidikan, menjadi fondasi awal, sementara pengalaman diskriminasi di sekolah (seperti penolakan atau bullying) justru memicu kesadaran akan ketidakadilan sistemik. Keterlibatan dalam OPD memperkuat identitas kolektif, memperkenalkan model sosial disabilitas, dan membuka jaringan mentor yang mendorong mereka menjadi pemimpin.
Pemimpin ini mempraktikkan kepemimpinan autentik dengan menjadi teladan, memberdayakan anggota melalui pemberian kesempatan, dan berkolaborasi lintas OPD maupun pemerintah untuk advokasi kebijakan (seperti UU Disabilitas 2016). Mereka juga menggunakan seni, komedi, dan media untuk mengubah stigma publik.
Studi ini menekankan pentingnya pendekatan “sepanjang hidup” dalam pengembangan kepemimpinan, mulai dari dukungan keluarga, pendidikan inklusif, hingga pendanaan berkelanjutan untuk OPD guna memperkuat gerakan kolektif. Kesimpulannya, kepemimpinan disabilitas bukan sekadar posisi formal, tetapi proses relasional yang berakar pada identitas politik, kolaborasi, dan komitmen untuk mentransformasi struktur sosial yang eksklusif.

Memicu penulisan artikel selanjutnya
Terbitnya tulisan ini di Jurnal Disabiliy & Society membuat saya bersemangat untuk melanjutkan penelitian dan penulisan artikel ilmiah. Saya merasa terpacu. Dalam beberapa hari, artikel ini sudah diakses 900 pembaca dari seluruh dunia. Tida menutup kemungkinan artikel atau pemikiran di dalamnya akan dikutip oleh peneliti-peniliti lainnya dan kedepan teori kepemimpinan daripersepktif disabilitas bisa masuk dalam teori mainstream kepemimpinan yang selama ini kita anggap Ableist. Suatu sikap, pemikiran maupun tindakan dari seseorang yang merasa atau menganggap the Able-People lebih baik dan superior, yang membuat the Disabled-People merasakan perbedaan, terabaikan, terpinggirkan sampai terlupakan dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga.



