Oleh Ishak Salim
Tulisan ini merupakan materi yang penulis sampaikan pada Kuliah Umum “Empowering Abilities” yang dilaksanakan Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin, pada 9 Oktober 2023 di Baruga Baharuddin Lopa, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, bersama Sara Minkara, Penasihat Spesial Presiden USA Joe Biden.
Saya ingin bercerita, mengenai perjalanan pemikiran aktivisme disabilitas saya selama satu dekade. Saya sudah mengenal pendekatan kritis dalam aktivisme sosial. Namun baru sepuluh tahun terakhir, pemikiran kritis saya dipengaruhi oleh perpektif disabilitas. Dulu, dengan pendekat strukturalis, saya membela pedagang-pedagang kecil yang mengalami penggusuran dengan alasan pembangunan dan sistem pasar bebas.
Saya mengorganisir pedagang pedagang kecil agar mereka bisa berdaya dan mengorganisir diri sendiri serta berorganisasi untuk melawan tindakan penggusuran kepada mereka. Tapi pasar lokal atau traditional market akhirnya kalah bersaing. Tsunami minimarket berjejaring besar melahap pedagang-pedagang kecil dan membuat orang-orang mengalami pemiskinan, Saya lalu beralih ke gerakan disabilitas. Bukan hal yang kebutulan saya lalu menggeluti isu ini. Saat saya melanjutkan kuliah doktoral di bidang ilmu politik di Jogjakarta, saya berinteraksi dengan para aktivis difabel.

Saya lalu mulai membaca sejumlah literatur, terutama bagaimana pendekatan kritis aktivisme bertemu dengan gerakan disabilitas. Kombinasi ini membuat saya mencari literatur yang beranjak dari perspektif kritis dan itu membawa saya mendekati para pemikir yang membawa model sosial disabilitas ke dalam pergerakan maupun akademisi kampus. Saya membaca bagaimana pendefinisian disabilitas mulai dari penamaan orang berdasarkan cara matinya, lalu jenis penyakit yang diidapnya, sampai pada kondisi impairment, handicap dan akhirnya disabilitas.
Saya pertama-tama menemukan bagaimana Professor Said Nagi dari Mesir, yang kemudian mengajar sosiologi di US dan mulai mendefinisikan disabilitas dari aspek sosial. Selama ini, pemikir sosial banyak dipengaruhi oleh individual model of disabilitas khususnya yang sangat hegemonik adalah medical model of disability. Model disabilitas Nagi ini kemudian mempengaruhi bangkitnya gerakan disabilitas di amerika. Sebuah film yang berjudul Crip Camp yang menjelaskan adanya camp mendidik para difabel menjadi kritis dan mau melawan pendidikan para the abeld people tumbuh. salah satu yang cukup terkenal lulusan crip camp ini adalah Judy Heumann, seorang perempuan dengan disabilitas fisik, berkursi roda yang kemudian bersama teman-temannya melakukan demonstrasi para difabel yang angat massif di seluruh negara bagian di AS. Gerakan-gerakan ini kemudian membawa perubahan sedikit demi sedikit sampai akhirnya disusun satu kebijakan yang disebut the American Disability Act (ADA) pada tahun 1990an yang akhirnya mendasari lahirnya Konvensi hak-hak penyandang disabilitas di dunia.
Heumann baru-baru ini meninggal dunia. rest in peace untuknya. Saya juga hormat kepada Presiden Barrack Obama yang telah membeli hak siar dari film Crip camp ini dan membawanya ke Netflix dan membuat saya dan kawankawan bisa menontonnya di Indonesia. Saya senang, karena Barrack Obama, selain karena dia ada darah Indonesianya, dia juga seorang pejuang disabilitas. Di masanya, pernah ia mengatakan bahwa istilah mental retardation adalah istilah yang sangat angkuh, sombong, dari para the abled people. mari kita tinggalkan kata ableist itu, mari hapus dia dari kamus Oxford kita.

Tapi, kembali ke Professor Said Nagi yang muslim dan pandai itu, pendekatan sosialnya di tahun 60-70an rupanya juga menyeberang ke Inggris. Di sana, orang-orang muda difabel seperti Collin Barnes, Vick Flankestein, dan penulis The Politic of Disablement, Mike Oliver, yang mempengaruhi cara berpikir saya yang lamu membawa saya meneliti secara aksi-partisipatoris dan melahirkan buku saya yang berjudul keluar dari hegemoni politik pencacatan. Aktivisme difabel Inggris tak kalah progresifnya dengan Amerika serikat.
Dari kedua negara inilah, pendekatan model sosial disabilitas meluas dan kita mulai banyak mengkritik berbagai kondisi sosial, baik pemikiran, gagasan, maupun praktik yang kemudian menyulitkan difabel sebagai hal usang yang harus ditinggalkan. Ketidakmampuan seseorang bukan karena kondisi impairmentnya, melainkan pada kondisi sosial yang menidakmampukan orang dengan impairment. desain arsitektur, desain infrastruktur, desain manufaktir sampai desain pertunjukan seni semuanya berkontribusi pada pelemahan difabel, peminggiran difabel, dan pemiskinan difabel sampai ada begitu banyak sekali lingkaran setan kemiskinan – disabilitas, begitu kusut dan butuh penguraian bahkan pemotongan rantai agar difabel bisa mengakses pengetahuan dan berdasarkan pengetahuannya melakukan perubahan.

Kita sudah memiliki banyak hal berubah. Orang buta yang sudah mengakses teknologi digital kini jauh lebih literate dibanding orang-orang buta dulu yang mengandalkan pada aksaran braille. Perkembangan bahasa isyarat juga sudah jauh lebih maju dan orang orang Tuli bisa kuliah di perguruan tinggi. kemajuan teknologi pembelajaran juga begitu yang dibarengi dengan keterampilan terapis (okupasi, fisio, maupun wicara, dan seterusnya) sangat membantu peningkatan kemampuan kognitif anak-anak autistik, Down Syndrome, ADHD dan seterusnya.

Belum lagi kemajuan teknologi adaptif seperti kursi roda, teknologi audio visual dan alat komunikasi lainnya, nyaris tak membuat jarak lagi. Kita sudah maju. Tapi di kampus ini, kami masih bergelut. penginggalan para kolonialis atau the ableist dengan ideologi ableism sangat kokoh. Untuk mendekonstruksinya tidak mudah. Pusat disabilitas unhas baru berdiri 4 bulan, dan saya dan kawan-kawan sejak awal sudah berlari kencang sampai saat ini belum bisa sekadar berjalan. Kami berhadapan dengan cara pandang, desain arsitektur, infrastruktur yang tidak akses, dan terutama arus stigmatisasi yang masih terus berjalan harus kami hentikan sekuat tenaga.
Saya tidak ingin bercerita banyak. Tapi tahun ini, kita telah mendobrak sistem penerimaan mahasiswa baru yang tadinya membentengi diri sehingga difabel tidak bisa masuk, kini bisa. begitu mahasiswa difabel masuk, segala benteng lainnya menghadang. Satu persatu kami rubuhkan. kalau terkendala, kami akan melapor ke Prof Adi, atau bahkan Prof JJ, rektor kami.

Perjalanan Disabilitas Indonesia
Di Indonesia, sejarah disabilitas tumbuh seiring dengan berdirinya Republik ini. Di masa perang, dengan kesatuan tentara yang baru berdiri, ada banyak prajurit yang menjadi korban perang. Mereka kemudian mendirikan ‘Invaliden’ untuk menyiapkan rehabilitas mediak dan sosial bagi korban. Dokter Soeharso, our founding fathers of social rehabilitation mulai memikirkan perlunya pusat-pusat rehabilitasi untuk orang-orang yang mengalami kecelakaan, akibat perang, dan mengalami kecacatan. Di Solo berdiri RC pada awal tahun 50-an dan banyak tempat berdiri pusat rehabilitasi yang sama, termasuk di Makassar, Panti rehabilitasi Wirajaya, yang besok akan menjadi tempat pelaksanaan ASEAN Half Level Forum dengan tema khusus disabilitas.

Pendekatan individual model of disability sangat luas digunakan. Jika tidak berbasis kesehatan, maka itu bersifat mistis atau supranatural. Orang buta dianggap orang sakit—dulu disebut orang sakti. Negara melalui kebijakan menyebut mereka “penderita cacat” dan kita menggunakan banyak label resmi yang kemudian berpengaruh pada cap atau stereotif bahkan segregatif dan diskriminatif.
Salah satu yang paling terasa pemisahannya adalah ketika the able people belajar di sekolah-sekolah reguler dan anak dengan disabilitas belajar di sekolah luar biasa, sekolah khusus. Di semua provinsi berdiri sekolah ini, mulai dari tingkat dasar sampai atas. Negara memisahkan kita dengan teman difabel kita sejak kita kecil dan hanya sedikit dari kita mempunyai teman-teman kecil yang difabel, teman remaja, dan teman dewasa yang disabilitas.
Perlawanan muncul. Difabel yang mengakses pendidikan tinggi, bahkan ke AS dan Inggris. Mereka membawa pulang pengetahuan baru. Perlawanan lalu dilakukan dengan mengubah paradigma. Peralihan paradigma dari individual model of disability membuat kita akhirnya mendefinisikan label kita sendiri. Dari pendekatan rehabilitatif ke empowerment. Istilah difabel muncul. Program kemandirian muncul. Sistem pendidikan segregatif mulai didekonstruksi. Kita akhirnya meratifikasi Konvensi hak-hak orang dengan disabilitas pada tahun 2011 melalui UU No. 19 tahun 2011, lalu mengganti UU lama tentang kecacatan menjadi disabilitas. Sebuah konsep baru yang lebih sosial dan lebih berdimensi hak asasi manusia. Pemerintah, melalui kolaborasi dengan jaringan organisasi disabilitas di seluruh Indonesia menyusun Peraturan-peraturan pemerintah terkait disabilitas yang sangat spesifik.
Sekarang kita mengenal Prinsip-prinsip Inklusi Disabilitas. Kita merekognisi keberagaman disabilitas, mulai dari kemampuan orang buta, Tuli, fisik, mental dan learning disability. Prinsip berikutnya adalah aksesibilitas, akomodasi reasonable, partisipasi, kolaborasi dan anti diskiriminasi. Selain itu dalam memonitoring kinerja pemerintah dalam menghormati, melindungi dan kemudian memenuhi hak-hak disabilitas kita memerintas indikator struktur, proses dan hasil. Dan terakhir, adanya prinsip bahwa nothing about us without us, dalam pembangunan ini kita mengedepankan pendektan twin tracks di mana ada dua jalur yang benar-benar harus dipastikan disabilitas menjadi bagian utama. Pertama kaitannya dengan jalur mainstreaming, di mana isu disabilitas merupakan bagian dari interkoneksi dengan dimensi-dimensi lain yang saling berkaitan seperti gender, etnis, bahasa, dan seterusnya. Lalu jalur targetting, di mana isu disabilitas harus benar-benar memastikan siapa dari orang disabilitas itu yang menerima manfaat, apakah ia disabilitas fisik, mental, intelektual, sensorik dan seterusnya.

Demikian pandangan saya. Saya sangat senang bisa bersama-sama belajar di kuliah umum ini dan terima kasih semua yang telah hadir. Mari kita terus bersama-sama melakukan destigmatisasi disabilitas asmpai akhirnya kita menjadi masyarakat inklusif yang tanpa sekat.




