Refleksi merayakan tahun kedua Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin

Usai Seminar Nasional Pariwisata

Oleh Ishak Salim, Kepala Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin.

Ishak Salim
Ishak Salim

Gagasan awalnya sederhana sekali. Dalam merayakan Hari Ulang Tahun kedua ini, relawan Pusdis ingin naik kapal Phinisi. Kami lalu berembuk. Seseorang mengusulkan bagaimana kalau kita mengangkat tema perayaan kali ini Pariwisata akses. Dalam merayakan, apakah itu hari tertentu seperti Hari Disabilitas maupun hari-hari lain yang istimewa, kami sudah sering mengangkat tema spesifik. Perayaan HUT Pusdis tahun lalu kami mengangkat tema ‘mozaic of identites’ atau merayakan keberagaman disabilitas dan sekaligus meresmikan dibukanya Taman Inklusif Jalinan Jiwa dan Lounge Mozaic of Ideintites. Karena tematik, tahun ini pun kita membuatnya tematik.

Tahun kedua ini, satu hal yang saya benar-benar tandai selama persiapan sampai kita tuntas merayakan HUT dua yang super heboh ini, tim relawan Pusdis ini semakin lengkap kapasitas nya sehingga lebih mudah memmbangun tim kerja yang saling mendukung. Koordinasi juga semakin mulus, walau tentu masih ada mampet di waktu dan kondisi tertentu, yang mandek itu bisa cepat diluruhkan dan mengaruskan lagi aliran komunikasi.

Jelas karena ingin naik kapal Phinisi dan kami tahu kalau Phinisi itu milik pemerintah Kota Makassar dan pengelolanya adalah Dinas Pariwisata, maka kami sepakat mengusung tema ini. Muh. Ilham bertugas untuk menyiapkan rancangan awal Terms of References nya. Setelah itu sat set sat set.

Gagasan tumbuh dan berkembang. Ia akan mengikuti alurnya seiring antusiasme orang-orang yang bersetuju dengan itu. Satu persatu gagasan bercabang dan setiap cabang menjalar membawa ranting masing-masing. Cabang satu tidak tanggung-tanggung, menghadirkan Menteri Pariwisata. Ya, ini lalu jadi penanda utama dan memancing tumbuhnya cabang-cabang lain. Jika Menteri hadir, maka siapa yang akan terseret untuk ada bersamanya? Rektor tentu, Walikota pasti. Lalu jika Rektor dan Walikota itu cabang-cabang sendiri, ranting apa yang akan dibawanya?

Wakil Menteri Pariwisata, Ni Luh, dulu pernah tinggal lama di Makassar. Saat ia masih jadi jurnalis dan kontributor lokal di media nasional. Bisa dibilang, walau orang Bali, tubuh dan jiwanya sudah ada budaya Makassarnya. Suaminya juga adalah teman dan sekampung dengan saya. Itu modal awal yang bisa meyakinkan bahwa kita bisa mendatangkan Menteri. Hal lain yang juga meyakinkan kami, direktorat pendidikan Unhas pernah bilang akan memberi satu slot buat Pusdis Unhas jika ingin mengundang seorang pakar untuk mengisi kuliah umum. Kami akan tanggung pelaksanaan kuliah umum, jika Pusdis berhasil melobi Bu Menteri, begitu kira-kira ucapan Pak Direktur saat itu.

Kawan saya selepas lulus S1 di tahun 2000 silam adalah Onggong. Dia alumni Arkeologi Unhas. Kawan yang humoris dan teman kerja yang menyenangkan. Kami dulu se tim dalam survei GDS (tentang evaluasi pelaksanaan setahun tata kelola pemerintahan daerah, otonomi daerah) di dua Provinsi (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara). Dia lalu menjadi dosen di FIB dan saya terus mengurusi gerakan sosial. Kami bertemu lagi di kampus Unhas saat aya masuk untuk memimpin Pusat Disabilitas. Sekarang Onggong, atau Pak Supriadi ini menjadi kepala Prodi Ilmu Pariwisata. Tema yang kami usung tentu mesti konek dengannya. Kami pun berwhatsapp dan bertemu serta mengobrolkan satu kerja kolaboratif. Kami sepakat membuat Seminar Nasional Pariwisata saat itu. Dikarenakan ini berkaitan dengan tata kelola layanan pariwisata, maka kami memutuskan menggandeng Jurusan Ilmu Adiministrasi. Saya menghubungi Prof. Alwi dan melayangkan surat kerjasama. Bentuknya, pelaksanaan Seminar, penyediaan narasumber, dan anggota tim Asesmen aksesibilitas pariwisata Makassar.

Jadi, sudah ada dua cabang tumbuh: Kuliah Umum Menteri Pariwisata dan Seminar Nasional Pariwisata Inklusif. Cabang lain, dan ini sudah menjadi brand Pusdis adalah performance atau pertunjukan berseni inklusif. Ini tidak boleh ditinggalkan. Di sinilah kekuatan kita. Di sinilah semangat kita saling terjalin dan gagasan baru lahir, talenta baru muncul serta gagasan-gagasan kemanusiaan berkecambah. Puisi inklusif, lagu dengan isyarat, drama anti diskriminasi disabilitas, menyanyi, menari dan banyak lagi gagasan yang ketika disetujui mengalir sendiri mencari para peminatnya. Anggota mudah bertemu dan bergandengan tangan untuk bisa saling menguatkan dan bersama-sama mewujudkan satu karya bersama. Satu dua orang mengajukan diri tampil tunggal. Itu puisi dan pantomim. Sayangnya pantomim dibatalkan. Saya ingat malam itu, wakil ketua panitia menegaskan membatalkan event pantomim ini karena lambat dan kurang koordinatif.

Performing Inklusif atau Inclusive Fun lalu menjadi cabang tersendiri. Di sini lalu muncul gagasan untuk mengundang tamu: Ruang Baca. Ruang baca adalah grup musik Makassar dengan lagu-lagu yang lembut dan lirik puitis dan literatif. Kedua anggotanya suami istri dan kemarin mereka malah tampil bertiga dengan Aim, putra mereka yang saat tiba di Anjungan Pantai Losari baru saja bangun. Usianya baru sekitar 3 tahun. Kami setuju, Yess dan teman-teman Tuli serta relawan isyarat menawarkan keterlibatan dalam bernyanyi dengan Ruang Baca namun dengan bahasa isyarat. Kami sepakat mengisyaratkan dua lagu: di Belantara Kata dan Minggu Pagi. Sore saat mereka tampil, hujan masih deras. Kami semua berada dalam satu tenda dan Ale dan Vini meminta agar bisa tampil dalam tenda karena panggung tak bertenda dan Aim masih dalam gendongan ibunya.

Di kedua lagu, itu, teman-teman dan relawan isyarat menyanyikan dengan isyarat mengikuti suara-suara merdu dan lirik-lirik indah Ale dan Vini. Petikan gitarnya yang akustik membuat sore yang basah ini lebih melodis. Aku sempat melupakan nelangsa ku dengan turut bernyanyi dengan membca lirik. Saya penikmat lagu-lagu mereka dan keduanya adalah kawan-kawan baik. Kami pernah bersama-sama di awal-awal pustaka KataKerja berdiri. Saya juga mengikuti perkembangan lagu-lagu mereka, termasuk salah satu lagu buat Aim saat sebelum dan setelah Aim lahir.

Ruang Baca
Ruang Baca

Petikan lirik ‘Di Beranda Kata’

Di belantara kata, ku mencari makna
Tentang dunia, tentang manusia
Di belantara kata
Ku mencari dirimu

Petikan lirik ‘Di Minggu Pagi’

Bulan bersinar
Menerangi malam itu
Berhutang pada matahari
Cahaya yang ia bagi
Tak pernah lunas kembali

Lalu apa cabang keempat? Ini masih berkaitan dengan gagasan membangun Pariwisata Makassar lebih inklusif. Masih obrolan dengan Onggong, selain menyajikan seminar di mana akademisi, pemerintah yang menyiapkan layanan pariwisata, pelaku usaha wiisata, dan wisatawan difabel kita membutuhkan instrumen untuk bisa mengukur seberapa inklusif sebuah destinasi wilayah. Kamipun merasa perlu ada tim untuk bisa menyusun instrumen ini dan lalu mengujinya. Mengujinya ini akan jadi dasar bagi kita untuk mengajukan sejumlah saran perbaikan.

Mengapa sekolaboratif ini?


Saya merasa perlu menjelaskan mengapa cara kerja ini tampak kolaboratif. Sejak saya menjadi pengajar di Departemen Administrasi Publik Unhas, saya mulai membaca dan mengajar matakuliah-matakuliah yang terkait dengan kebijakan publik dan teori-teori tata kelola atau governansi dalam berbagai praktik pembangunan. Dalam Ilmu administrasi, saya menyukai gagasan di bawah pilar New Public Services (NPS) di mana salah satu turunan dari teori ini adalah Public Service Logic (PSL).

Menurutku, pendekatan ini sangat baik dan bisa cocok ketika suatu program dirancang untuk bisa lebih banyak melibatkan aktor-aktor danalm masyarakat maupun pemerintah. PSL ini meyakini bahwa layanan publik bukanlah hanya kerjaan ASN di suatu departemen atau dinas tertentu. Layanan publik merupakan implementasi dari spirit ‘co-creation of values’, co-production, dan embeddednes. Misalnya, nilai pariwisata yang kita bayangkan inklusif itu bisa hadir dengan kontribusi bersama. Dia bukan produk walikota misalnya, melainkan nilai bersama yang sama-sama kita yakini baik dan sama sama kita perjuangkan agar baik secara proses, maupun sebagai tools, bahkan sebagai tujuan, praktik inklusif itu selalu dihadirkan secara bersama-sama. Bahwa menjadikan pariwisata inklusif itu adalah ‘public value’ kita bukan lahir dari motto walikota saja sebagaimana ada dalam akronim MULIA sebagai visi misinya.

Pun demikian dengan co-production adalah upaya bersama merancang praktik wisata inklusif. Dalam berbagai obrolan di tim asesmen, kami bahkan sudah memikirkan untuk membuat satu produk berwisata secara kolaboratif. Misalnya membuat program ‘jokka-jokka inklusif’ yang dirancang bersama dengan pihak penegelola wisata, asosiasi wisata, organisasi disabiltas, mahasiswa, dinas pariwisata dan lain-lain yang bertujuan pada tujuan yang sama. Menampilkan aspek-aspek inklusivitas dalam turisme di Makassar.

Terakhir soal embeddeness atau kedekatan dengan antar aktor yang menjadi pendorong praktik pariwisata lebih inklusif. Tanpa kedekatan, kelekatan, dan tentu keharmonisan, maka sulit kita ber co-cerative dan ber co-production. Jadi kita perlu membangun ruang di mana kelekatan dan kedekatan ini bisa direkaya terbangun dan pada akhirnya semakin saling mendekatkan yang akhirnya membiasakan kita dengan berbagai perbedaan dan titik temu.

Pada hari H puncak acara kemarin, kami dari ke tujuh anggota tim asesmen aksesibilitas wisata kota Makassar berhasil mengasesmen anjungan pantai losari. Siapa saja ke tujuh orang ini, yaitu Pak Kabid Destinasi (Safaruddin Baso Amang), Asosiasi Usaha Wisata (Mastudi), Ibu Rafikah Hayati (Dosen Prodi Ilmu Pariwisata Unhas), Nabila May Sweetha (Pertuni Sulsel), Muh. Ilham (Mahaisswa Disabilitas) dan saya mewakili Pusat Disabilitas Unhas.

Saat asesmen, kami memang tidak tuntas sampai di anjungan terakhir, namun kami telah mulai dari area parkir, masjid terapung, kemudian area tengah di mana UPT Pantai Losari berada dan bagian tengah, anjungan Pantai Losari. Kiran-kira begini rencana asemen aksesibilitas ini:

Kami memulai di Anjungan Makassar (bagian Selatan), kita awali di area parkir, lalu bergerak ke masjid terapung, kemudian Patung A’raga, lalu ke Anjungan Bugis di mana di sana ada patung 3 pahlawan, lalu menuju area Tengah di anjungan Pantai Losari dan di titik ini menjadi titik teramai kunjungan turis. Kami hanya sampai di sini dengan mengamati sekilas Tugu Adipura, lalu Patung Pinisi dan Wahana Perahu Bebek. Kami tidak melanjutkan ke anjungan Toraja di bagian Utara sehingga belum menilai aksesibilitas City sign, ruang seni, kuliner Pisang Epe dan anjungan Toraja.

Cabang terakhir adalah Kapal Phinisi dan ini lah yang menjadi tujuan awal merayakan HUT Pusdis adalah ingin naik kapal Phinisi. Sesederhana itu? Ya.

Cerita tentang kapal Phinisi ini menarik tentu saja. Saya mulai saja dengan pertemuan saya dengan Pak Roem, beberapa hari sebelum ia dilantik sebagai Kepala Dinas Komdigi. Pak Roem adalah alumni Prodi Doktoral Administrasi Publik, tahun lalu sepertinya ia meraih gelar doktornya. Sebelum bertemu, saya sudah mewhatsapp Pak Roem dan menyampaikan tentang rencana kami mengangkat tema ini dalam perayaan. Ia orang yang ramah, membalas chat dengan penuh perhatian. Ketika akhirnya secara tidak sengaja bertemu di Festiva Film Australia – Indonesia, kami menyampaikan langsung maksud kami.

Awalnya kami merencanakan Pak Roem adalah salah satu narasumber sebagai ahli pariwisata Makassar dan jabatannya sebagai Kepala Dinas. Tapi dia bilang sudah akan pindah pada senin mendatang dan akhirnya lewat whatsapp berikutnya Ia memutuskan tidak bersedia menjadi narasumber. Ia sudah digeser ke dinas Komidigi. Kita akan bertemu lagi, begitu saya jawab setelah mengatakan bahwa baru-baru ini tim riset Pusdis baru saja meneliti aksesibilitas layanan pemerintah berbasis digital bagi penerima lalayan disabilitas netra.

Awalnya saya juga ingin masuk melalui pintu Pak Roem untuk tiba di Pak Walikota, Appi.

Saya tidak melanjutkan komunikasi dengan Pak Roem. Ia sempat beritahu tips untuk bisa dapat ijin pemakaian Kapal Phinisi, tanggung sendiri makanannya.

Kami pada akhirnya berhasil audiens dengan Walikota. Beliaulah titik utama yang akhirnya menguatkan semangat kami untuk serius membawa isu Pariwisata Inklusif ini lebih kuat.

Saya menghubungi Bang Ripex (HI 1994) untuk tahu siapa protokoler Walikota saat ini. Bang Ripex, memberi kan sejumlah informasi. Ia paham, gagasan di balik perayaan HUT ini bukan hanya related dengan Walikota, tapi isu disabilitas, isu inklusif itu adalah core atau hal utama yang diperjuangkan Walikota. Ia lalu memberi kan nomer kontak protokoler itu dan darinya kami akhirnya mendapat kabar, bahwa Walikota akan menerima kami pada pukul 14.00 di hari Selasa, 24 Juni. Duaar…. Kami senang luar biasa. Kami menyiapkan diri.

Menjelang waktu audiensi tiba, beberapa kali Protokoler bertanya dan siapa saja yang akan hadir. Saya tidak memberikan detail nama, hanya bilang Kapus, staf Pusdis, Mahasiswa Disabilitas, Pendamping Disabilitas, Juru bahasa isyarat dan Kaprodi ilmu pariwisata Unhas. Saat hari itu tiba, ternyata jumlah kami 13 orang.

Saat itu kami tiba in time. Saya senang, karena staf dan relawan Pusdis bisa in time dan minimal on time. Kami menunggu sejenak sambil berbincang. Warna jas yang menyala itu memerah di ruang tunggu walikota. Tak lama kepala dinas sosial dan beberapa kabid datang bergabung. Kami tidak tau kalau dinas sosial ternyata diminta untuk mendampingi walikota saat kami audiens. Sungguh menyenangkan karena beberapa menit kami sempat berbincang. Salah satu kabid, kak Acci (Masri) adalah senior di Unhas dan obrolan jadi lebih cair.

Tiba gililiran, kami semua masuk dengan sedikit gugup tapi tetap bersemangat.

ruang audiens
Audiens Walikota Makassar

Ruang audiens ini cukup berwibawa menurutku. Mungkin karena ini pengalaman pertama bisa audiens dengan walikota Makassar, maka suasanya memang resmi betul. Saya diminta duduk di samping Pak Walikota yang diapit dengan meja kecil berisi gelas kristal kosong Cerek kaca, dan satu potong kue katirisala dan satu potong bolu kecil. Kami menghadap ke audiens dari Pusdis dan Dinas Sosial. Saya memulai dengan perkenalan diri tentang Pusdis dan bebrapa perkembangan menarik di dunia disabilitas di Perguruan Tinggi.

Suasana cepat cair. Saya mungkin tipe yang terlalu mau bicarakan banyak hal secara sekaligus, tapi saya berkepentingan untuk membuat obrolan ini tampak santai. Saya yakin, tim kami yang kebanyakan mahasiswa ini tentu gugup juga. Sampai akhirnya saya mengenalkan Fitrah sebagai pencetus Golo Tuli di Makassar. Blazzz suasana langsung cair. Walikota menemukan titik ketertarikannya. Obrolkan soal Bola. Sebagai pimpinan tertinggi perspakbolaan di Makassar atau Sulawesi Selatan, obrolan tentang Golo Tuli dan Golo Buta menjadi pencair suasana.

Saking cairnya, ini jadi poin utama obrolan. Pak Wali bilang, saya punya lapangan, kalian boleh pakai. Pak Wali juga mau buat turnamen dan menghidupkan kedua Golo disabilitas ini. Dia memastikan lagi ke Fitrah dan Ilham agar bisa membicarakan ini lebih lanjut untuk memastikan gagasan ini dijalankan. Selebihnya obrolan tentang perayaan ini tinggal justifikasi Pak Wali menyetujui dukungan ini dan itu dan itu adalah dukungan atas semua yang kami ajukan: Tenda, sound system, Panggung dan 100 kursi untuk pertunjukan seni inklusif, lalu kapal Phinisi ‘Adama’ berkapasitas 100 orang berikut makan malamnya disetujui semua. Apa lagi? Saya bilang, Cuma itu Pak Wali. Kami pun foto bersama dan pulang dengan riang gembira.

Sabtu, siang sudah tampak mendung. Kami berharap tidak hujan di Anjungan Pantai Losari. Panggung sederhana setinggi 10 sentimeter dengan luas 4 kali 6 meter, lalu tiga tenda kerucut berisi 100 kursi yang terisi semua, dan sound system yang speake-speakernya dibungkus palstik hitam berada di atas anjungan Pantai Losari. Latar belakang panggung adalah tulisan besar Pantai Losari dengan dermaga dan beberapa Kapal Phinisi yang merapat. Hujan rintik-rintik mengawali kami membuka acara ini setepat waktu mungkin. Kami mulai pukul 4 dan memasukkan beberapa sambutan yang tak ada dalam run-down. Panitia saat itu hanya memasukkan sambutan wakil rektor saja, tanpa kepala dinas dan kepala UPT Pantai Losari (Ibu Muliani) yang hadir (kadis diwakili oleh Kabid).

Nayla sedang menari dipayungi ibunya dan Reski, relawan Pusdis
Nayla sedang menari dipayungi ibunya dan Reski, relawan Pusdis

Penari manis, Nayla, siswi dengan Sindroma Down tampil dengan tarian 4 etnis. Hujan mengguyur tidak begitu deras, tapi pasti basah. Tapi kami berinisiatif memayunginya. Reski, mahasiswa Tuli Prodi Ilmu Pariwisata dan Ibu Nayla (Andi Nur Fitri Balasong) maju memayungi saat Nayla memulai tariannya. Gerakannya lembut dan teratur.

Ibunya bilang:

Dia tidak peduli dengan hujan yang terjadi. Dia tetap profesional (dengan emoticon terharu). Saya ingin menyampaikan bahwa, dia yang berani seperti ini, bukan dilatih kemarin sore. Tapi ditempa bertahun-tahun lalu, menghadapi sakit dan lelah (emotikon terharu lagi). Mengeluh? Mungkin pernah, tapi daya juangnya tak lagi diragukan. Orang Tua harus menjadi contoh, menjadi lebih sabar, tahan keluh kesah, tabah ketika tak dihargai, dan tak perlu menuntut ini itu ketika kondisi belum sempurna.

Kalimat Ibu Fitri Balasong dalam statusnya begitu kuat. Jika Nayla tampil prima sore di tengah hujan dan sesekali petir itu, tentu memang bukan kekuatan yang ada begitu saja, tetapi melewati tempaan. Proud Nayla. Terima kasih telah tampil di acara ulang tahun Pusdis.

Berturut-turut relawan Pusdis melawan cuaca. Keceriaan mereka menutup kelabu dan murung langit. Nyala kecerian mata-mata mereka berbinar mewarnai langit sore yang biasanya lebih indah dengan senja. Drama dengan kekuatan cerita menantang ketidakadilan yang bisa saja hadir di ruang publik, namun terutama dalam rumah. Puisi Giyo yang menikmati persahabatan orang yang berjalan dengan kaki dan bergerak dengan kursi roda sungguh dalam makanya. Puisi Lala tentang Makassar juga sungguh indah dan kritis yang menyasar hal-hal yang kita mungkin telah tinggalkan yang membawa ketidakpercayaan diri menjadi Orang makassar sesungguhnya. Lalu tarian Flashmob di mana Nanda paling stres karena latihan-latihan yang dijadwalkan lebih sering terbengkalai justru diikuti banyak sekali penari dan mengembalikan esensisnya sebagai tarian yang tidak direncanakan. Satu persatu tamu yang menikmati kami menari dan melompat membuat panggung penuh dan penari meluber ke depan, belakang dan kiri kanan. So grateful!

Akhirnya, saya tidak bisa menulis lebih banyak lagi. Saya senang, saya bahagia, selamat ulang Tahun Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin kedua, dan terima kasih dan mari bangga kepada diri kita semua.

Makassar, 29 Juni 2025

Kabar Terkini

Accessibility
Font Size
Line Height
Letter Spacing
×
GDPR Notice:

This plugin uses cookies to enhance your experience and provide personalized accessibility settings. These cookies are stored in your browser and allow us to remember your preferences for font size, color schemes, and other accessibility features. By using this plugin, you consent to the use of cookies for these purposes. You can delete or block cookies in your browser settings at any time. Please note that doing so may affect your experience on the site.