Ishak Salim, Pusat Disabilitas Unhas
Pertanyaannya terkait konsesi dan data Disabilitas, tapi ketiganya tidak merespon soal konsesi sama sekali. Mengapa? Saya pikir mereka tidak mengerti apa itu konsesi Disabilitas.
UU Disabilitas sudah dituangkan hingga ke aturan yang operasional, setingkat PP, Perpres dan Permen. Satu yang belum diatur sampai di usia kesembilan pascaaturan ini ditegakkan adalah aturan mengenai konsesi Disabilitas. Isu ini tarik menarik kepentingannya cukup kencang bahkan pergolakan pengetahuannya juga sungguh penting untuk disimak. Ada kerumitan yang bersandar pada relasi kuasa di dalamnya.
Konsesi Disabilitas itu alas berpikirnya adalah ableisme dalam pembangunan. Begini, negara ini berdiri dan dibangun didasarkan cara pandang normalisme–khususnya berbasis biomedik. Rumah, gedung dan pabrik didirikan oleh para pengembang pembangunan dengan dasar bahwa yang menggunakannya adalah orang-orang yang bertubuh lengkap. Apa jadinya? Semua bangunan arsitektur, infrastruktur, manufaktur plus atau berikut segala jenis layanannya berbasis pada kenormalan tubuh. “Orang-orang Normal” dalam dua tanda kutip menikmati semua fasilitas dan layanan pembangunan dengan meninggalkan semua orang dengan kondisi organ atau tubuh, mental dan pikiran yang dianggap “tidak normal” dalam dua tanda kutip, mereka diabaikan bahkan ditinggalkan bertahun, puluhan tahun hingga nantinya ratusan tahun (nantinya).
Dengan desain, bangunan, maupun lansekap yang ableist itu, karena model layanan dan segala perangkat perlengkapan kerja, belajar, bermain, berobat dll dst yang ableist, maka ongkos aktivitas maupun partisipasi orang disabilitas menjadi dua atau bahkan berkali-kali lipat lebih banyak dengan orang-orang yang dengan kelengkapan tubuhnya menikmati privilege desain yang fit bagi tubuhnya. Sekolah yang hanya akses bagi non disabilitas, rumah ibadah, tempat hiburan dan wisata, dst dll menjadi murah bagi mereka tapi mahal bagi difabel.
Karena itu muncul gagasan bahwa difabel sebagai warga negara yang dirugikan ini lalu membutuhkan konsesi. Negara wajib memberi diskon untuk belanja primer maupun sekunder seperti pangan, energi, pendidikan, kesehatan, hiburan, dll, dst.
Bagi difabel, menikmati atau memilih tidak menikmati layanan konsesi ini optional. Kalau sudah hidup makmur silakan abaikan konsesi. Tapi bagi difabel yang miskin, masih mengalami sakit sehingga sulit bekerja, bersekolah dan tidak berpendapatan karena belum berada pada usia produktif maka menikmati konsesi akan sangat bermanfaat. Bisa membuat hidup difabel menjadi lebih baik, sejahtera dan nyaman. Saat ini hidup begitu berat, dan jauh lebih berat karena di sana sini masih tidak akses, masih kurang akomodasi layak, masih minim partisipasi, masih kurang kerjasama, dan masih mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Kebijakan konsesi menjadi rumit dan lalu terlantar hingga hari ini karena berkaitan dengan ongkos yang harus dibayar oleh negara akibat potongan-potongan itu. Apa sih yang dipotong? Misalnya ada kepala keluarga difabel mau bayar listrik dan air. Jika bayar full adalah 500 ribu sebulan, maka ada diskon 100ribu. Jika beli bahan sembako maka akan dapat diskon katakanlah 25 persen. Jika ingin belanja barang elektronik atau alat bantu mobilitas maupun komunikasi atau belajar maka dapat diskon 35 persen dst dll.
Lalu siapa yang menghambat hal ini? Kementerian keuangankah? Atau Bappenas? Atau Anggota DPR? Atau difabel sendiri yang ogah?
Memang ada pro kontra soal konsesi. Difabel dalam aktivisme mereka juga ada yang setuju ada tidak. Yang tidak setuju menyebut hal ini sebagai “labelisasi dan pelanggengan stigma’. Contohnya, kalau ada difabel belanja, pegawai atau penjaga toko bisa saja bisik-bisik “Eh ada difabel mau belanja, pasti minta diskon.” Tapi menurutku, mereka ini minoritas. Di banyak tempat di banyak daerah, bahkan masih banyak difabel yang tinggal di rumahnya bahkan banyak yang seperti disembunyikan, diabaikan, dinon-statekan (dibuat tanpa punya identitas kewarganegaraan.
Saya sih setuju konsesi, tapi kayaknya menteri keuangan kita butuh dana bayar cicilan hutang negara ini yang semakin membludak ya?
Makassar, 5 Februari 2024.



